RELEVANSI PENEGAKAN HUKUM DENGAN KEADILAN YANG DICITA-CITAKAN MASYARAKAT
RELEVANSI
PENEGAKAN HUKUM DENGAN KEADILAN
YANG
DICITA-CITAKAN MASYARAKAT[1]
Oleh: Fauzi Iswari, SHI[2]
A. PENDAHULUAN
1. Latar
Belakang Masalah
Terciptanya
kehidupan yang kondusif, nyaman, dan tentram dalam berbangsa dan bernegara
merupan suatu momentum yang dinanti-nantikan oleh sebagian besar penghunyi republik ini. Adapun untuk mewujudkan
cita-cita tersebut adalah dengan cara mensterilisasi serta memperbaiki beberapa
hal yang
memiliki pengaruh signifikan terhadap kehidupan masyarakat di Negara ini, salah satunya adalah masalah penegakan hukum. Penegakan hukum pada hakikatnya merupakan interaksi antara berbagai perilaku manusia yang mewakili kepentingan-kepentingan
yang berbeda dalam bingkai aturan
yang telah disepakati bersama. Oleh karena itu, penegakan hukum tidak
dapat semata-mata dianggap sebagai proses menerapkan hukum
sebagaimana pendapat kaum legalistik. Namun proses penegakan hukum
mempunyai dimensi yang lebih luas daripada pendapat
tersebut, karena dalam penegakan hukum akan melibatkan dimensi perilaku
manusia.[3]
Secara
konseptual, maka inti dari penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai
yang terjabar dalam kaidah-kaidah yang mantap, mengejewantah, dan sikap tindak sebagai rangkaian
penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan
kedamaian pergaulan hidup.[4]
Namun yang terjadi pada saat ini jika
kita mengamati, melihat dan merasakan bahwa penegakan hukum di Negara ini berada pada kondisi
yang tidak menggembirakan. Masyarakat mempertanyakan kinerja
aparat penegak hukum,[5]
contohnya
dalam pemberantasan korupsi, merebaknya mafia peradilan,
pelanggaran hukum dalam penelitian APBN dan APBD di kalangan birokrasi. Daftar ketidakpuasan masyarakat dalam penegakan hukum semakin bertambah panjang apabila
membuka kembali lembaran-lembaran lama seperti kasus pengambilan tiga
buah kakao oleh Minah, kasus pencurian dua buah semangka di Kediri, kasus
pengambilan dua buah kapas di Jawa Timur, dan kasus Prita Mulyasari, serta
masih banyak kasus-kasus lain.
Pengadilan yang merupakan representasi utama wajah penegakan hukum dituntut untuk
mampu melahirkan tidak hanya kepastian hukum, melainkan pula
keadilan, kemanfaatan sosial dan pemberdayaan sosial melalui
putusan-putusan hakimnya. Kegagalan lembaga peradilan
dalam mewujudkan tujuan hukum di atas telah mendorong
meningkatnya ketidakpercayaan masyarakat terhadap pranata hukum dan lembaga-lembaga hukum. Mungkin
benar apabila dikatakan bahwa perhatian masyarakat terhadap
lembaga-lembaga hukum telah berada pada
titik jenuh. Hampir setiap saat kita dapat menemukan berita, informasi,
laporan atau ulasan yang berhubungan dengan
lembaga-lembaga hukum kita. Salah satu permasalahan yang perlu mendapat
perhatian kita semua adalah merosotnya rasa hormat masyarakat terhadap wibawa hukum.[6]
Bertitik
tolak dari kenyataan di atas, maka perlu dikaji lebih eklusif mengenai masalah
penegakan hukum, lebih spesifiknya mengenai keadilan karena banyak
spekulasi-spekulasi negatif yang berkembang di tengah masyarakat yang
mengatakan bahwa penegakan hukum saat ini sudah mulai menjauh dari keadilan yang
dicita-citakan oleh masyarakat. Oleh sebab itu
supaya tidak terjadi kesimpang-siuran pemahaman perlu kiranya dibahas dalam
sebuah makalah dengan judul: Relevansi
Penegakan Hukum Dengan Keadilan yang Dicita-Citakan Masyarakat.
2. Rumusan
Masalah
Berdasarkan paparan latar belakang di atas, maka dapat di tarik beberapa
rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini, antara lain:
a.
Apakah hubungan hukum
dan keadilan?
b.
Apakah
Pengadilan sudah berfungsi sebagai tempat mencari keadilan?
c.
Apakah penegakan
hukum saat ini sudah relevan dengan keadilan yang dicita-citakan oleh
masyarakat?
B. PEMBAHASAN
1. Hukum dan
Keadilan
a.
Teori Keadilan
Berbicara
mengenai keadilan, kiranya perlu meninjau berbagai teori para ahli. Salah
satunya adalah Plato. Muslehuddin di dalam bukunya Philosophy of Islamic Law
and Orientalists, sebagaimana
dikutip oleh Abdul Ghafur Anshori menyebutkan pandangan Plato sebagai
berikut:
In his view, justice consists in a harmonious relation, between the
various parts of the social organism . Every citizen must do his duty in his
appointed place and do the thing for which his nature is best suited.
Dalam mengartikan keadilan, Plato sangat dipengaruhi
oleh eita-eita kolektivistik yang memandang keadilan sebagai hubungan harmonis
dengan berbagai organisme sosial. Setiap warga Negara harus melakukan tugasnya
sesuai dengan posisi dan sifat alamiahnya.[7]
Dari sini terkesan pemahaman bahwa, keadilan dalam konsep Plato sangat terkait
dengan peran dan fungsi individu dalam masyarakat.
Lain halnya dengan Aristoteles, menurutnya keadilan
berisi suatu unsur kesamaan, bahwa semua benda-benda yang ada di alam ini
dibagi secara rata yang pelaksanaannya dikontrol oleh hukum. Dalam pandangan
Aristoteles keadilan dibagi menjadi dua bentuk. Pertama, keadilan
distributif, adalah keadilan yang ditentukan oleh pembuat undang-undang,
distribusinya memuat jasa, hak, dan kebaikan bagi anggota-anggota masyarakat
menurut prinsip kesamaan proporsional. Kedua, keadilan korektif, yaitu
keadilan yang menjamin, mengawasi dan memelihara distribusi ini melawan
serangan-serangan ilegal. Fungsi korektif keadilan pada prinsipnya diatur oleh
hakim dan menstabilkan kembali status quo dengan cara mengembalikan
milik korban yang bersangkutan atau dengan cara mengganti rugi atas milik nya
yang hilang.
Aristoteles dalam mengartikan keadilan sangat
dipengaruhi oleh unsur kepemilikan benda tertentu. Keadilan ideal dalam
pandangan Aristoteles adalah ketika semua unsur masyarakat mendapat bagian yang
sama dari semua benda yang ada di alam. Manusia oleh Aristoteles dipandang
sejajar dan mempunyai hak yang sama atas kepemilikan suatu barang (materi).[8]
Keadilan
distributif menurut Aristoteles berfokus pada distribusi, honor, kekayaan, dan
barang-barang lain yang sama-sama bisa didapatkan dalam masyarakat. Dengan
mengesampingkan “pembuktian” matematis, jelaslah bahwa apa yang ada dibenak
Aristoteles ialah distribusi kekayaan dan barang berharga lain berdasarkan
nilai yang berlaku dikalangan warga. Distribusi yang adil boleh jadi merupakan
distribusi yang sesuai degan nilai kebaikannya, yakni nilainya bagi masyarakat.[9]
Di
sisi lain, keadilan korektif berfokus pada pembetulan sesuatu yang salah. Jika
suatu pelanggaran dilanggar atau kesalahan dilakukan, maka keadilan korektif
berusaha memberikan kompensasi yang memadai bagi pihak yang dirugikan; jika
suatu kejahatan telah dilakukan, maka hukuman yang sepantasnya perlu diberikan
kepada si pelaku. Bagaimanapun, ketidakadilan akan mengakibatkan terganggunya
“kesetaraan” yang sudah mapan atau telah terbentuk. Keadilan korektif bertugas
membangun kembali kesetaraan tersebut. Dari uraian ini nampak bahwa keadilan
korektif merupakan wilayah peradilan sedangkan keadilan distributif merupakan
bidangnya pemerintah.[10]
Sementara itu Soekanto menyebut dua kutub citra
keadilan yang harus melekat dalam setiap tindakan yang hendak dikatakan sebagai
tindakan adil. Pertama, Naminem Laedere, yakni "jangan merugikan
orang lain", secara luas azas ini berarti " Apa yang anda tidak ingin
alami, janganlah menyebabkan orang lain mengalaminya". Kedua, Suum Cuique
Tribuere, yakni "bertindaklah sebanding". Secara luas azas ini
berarti "Apa yang boleh anda dapat, biarkanlah orang lain berusaha mendapatkannya".
Azas pertama merupakan sendi equality yang ditujukan kepada umum sebagai
azas pergaulan hidup. Sedangkan azas kedua merupakan azas equity yang
diarahkan pada penyamaan apa yang tidak berbeda dan membedakan apa yang memang
tidak sama.[11]
Terlepas dari beberapa pendapat dari para ahli di atas
maka perlu diambil benang merah tentang teori keadilan tersebut, agar
pertanyaan apa itu keadilan dapat dijawab dengan gamblang dan komplit serta
universal. Keadilan baru dapat dikatakan bersifat universal jika dapat mencakup
semua persoalan keadilan sosial dan individual yang muncul. Universal dalam
penerapannya mempunyai arti tuntutan-tuntutannya harus berlaku bagi seluruh
anggota masyarakat. Dapat diuniversalkan dalam arti harus menjadi prinsip yang
universalitas penerimaannya dapat dikembangkan seluruh warga masyarakat.
Agar dapat dikembangkan dan membimbing tindakan warga
masyarakat, maka prinsip-prinsip tersebut harus dapat diumumkan dan dimengerti
setiap orang. Masalah keadilan muncul ketika individu-individu yang berlainan
mengalami konflik atas kepentingan mereka, maka prinsip-prinsip keadilan harus
mampu tampil sebagai pemberi keputusan dan penentu akhir bagi perselisihan
masalah keadilan. Prinsip keadilan yang dapat diterima seluruh masyarakat akan
menjadi prinsip keadilan yang bukan sekedar lahir dari kata "setuju",
tetapi benar-benar merupakan jelmaan kesepakatan yang mengikat dan mengandung
isyarat komitmen menjaga kelestarian prinsip keadilan tersebut.[12]
b.
Hukum dan
Keadilan
Tujuan akhir
hukum adalah keadilan. Oleh karena itu, segala usaha yang terkait dengan hukum
mutlak harus diarahkan untuk menemukan sebuah sistem hukum yang paling cocok
dan sesuai dengan prinsip keadilan. Hukum harus terjalin erat dengan keadilan,
hukum adalah undang-undang yang adil, bila suatu hukum konkrit, yakni
undang-undang bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan, maka hukum itu
tidak bersifat normatif lagi dan tidak dapat dikatakan sebagai hukum lagi.
Undang-undang hanya menjadi hukum bila memenuhi prinsip-prinsip keadilan.
Dengan kata lain, adil merupakan unsur konstitutif segala pengertian tentang
hukum.[13] Sifat
adil dianggap sebagai bagian konstitutif hukum adalah karena hukum dipandang
sebagai bagian tugas etis manusia di dunia ini, artinya manusia wajib membentuk
hidup bersama yang baik dengan mengaturnya secara adil. Dengan kata lain
kesadaran manusia yang timbul dari hati nurani tentang tugas sesui pengemban
misi keadilan secara spontan adalah penyebab mengapa keadilan menjadi unsur
konstitutif hukum. Huijbers menambahkan alasan penunjang mengapa keadilan
menjadi unsur konstitutif hukum:[14]
a. Pemerintah negara manapun selalu membela tindakan dengan memperlihatkan
keadilan yang nyata di dalamnya
b. Undang-undang yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan
seringkali dianggap sebagai undang-undang yang telah usang dan tidak berlaku
lagi.
c. Dengan bertindak tidak adil, suatu pemerintahan sebenamya bertindak di
luar wewenangnya yang tidak sah seeara hukum.
Khan, seorang Professor
and Head Department of Political Science Univesity of Sind sebagaimana
dikutip Abdul Ghofur Anshori, mengunggkapkan:
Every state has undertaken to eradicate the scourges of ignorance
disease, squalor, hunger and every type of injustice from among its citizens so
that everybody may pursue a happy life in a free way.
Dari ungkapan tersebut tergambar sebuah pengertian,
bahwa tujuan akhir hukum berupa keadilan harus dicapai melalui sebuah institusi
legal dan independen dalam sebuah negara. Hal tersebut menunjukkan pentingnya
mewujudkan keadilan bagi setiap warga negara (manusia) sebagai orientasi hukum.
Terutama setelah perang dunia kedua, seringkali akibat pengalaman pahit yang
ditinggalkan kaum Nazi yang menyalahgunakan kekuasaannya untuk membentuk
undang-undang yang melanggar norma-norma keadilan, makin banyak orang yang
sampai pada keyakinan bahwa hukum harus berkaitan dengan prinsip-prinsip
keadilan, untuk dapat dipandang sebagai hukum. Bila tidak, maka hukum hanya
pantas disebut sebagai tindakan
kekerasan belaka.[15]
Penegakan hukum bukan tujuan akhir dari proses hukum
karena keadilan belum tentu tercapai dengan penegakan hukum, padahal tujuan
akhirnya adalah keadilan. Pernyataan di atas merupakan isyarat bahwa keadilan
yang hidup di masyarakat tidak mungkin seragam. Hal ini disebabkan keadilan
merupakan proses yang bergerak di antara dua kutub citra keadilan. Naminem
Laedere semata bukanlah keadilan, demikian pula Suum Cuique Tribuere yang
berdiri sendiri tidak dapat dikatakan keadilan. Keadilan bergerak di antara dua
kutub tersebut. Pada suatu ketika keadilan lebih dekat pada satu kutub, dan
pada saat yang lain, keadilan lebih condong pada kutub lainnya. Keadilan yang
mendekati kutub Naminem Laedere adalah pada saat manusia berhadapan dengan
bidang-bidang kehidupan yang bersifat netral. Akan tetapi jika yang
dipersoalkan adalah bidang kehidupan spiritual atau sensitif, maka yang disebut
adil berada lebih dekat dengan kutub Suum Cuique Tribuere. Pengertian
tersebut mengisyaratkan bahwa hanya melalui suatu tata hukum yang adil orang
dapat hidup dengan damai menuju suatu kesejahteraan jasmani maupun rohani.[16]
2. Pengadilah
Sebagai Tempat Mencari Keadilan Bagi Masyarakat
Satjipto
Rahardjo berpendapat, untuk menyebarkan fora pendistribusi keadilan tidak
semestinya terkonsentrasi hanya pada satu lembaga yang bernama pengadilan.[17]
Keberadaan lembaga peradilan sebagai salah satu pendistribusi keadilan tidak
dapat dilepaskan dari penerimaan dan penggunaan hukum modern di Indonesia.
Hukum modern di Indonesia diterima dan dijalankan sebagai suatu institusi baru
yang didatangkan atau dipaksakan (imposed)
dari luar. Padahal secara jujur, dilihat dari optik sosio kultural, hukum
modern yang kita pakai tetap merupakan semacam “benda asing dalam tubuh kita.”
Oleh sebab itu, untuk menanggulangi kesulitan yang dialami bangsa Indonesia
disebabkan menggunakan hukum modern, adalah menjadikan hukum modern sebagai
kaidah positif menjadi kaidah cultural.[18]
Persoalannya, karena sistem hukum modern yang liberal itu tidak dirancang untuk
memikirkan dan memberikan keadilan yang luas kepada masyarakat, melainkan untuk
melindungi kemerdekaan individu. Di samping itu juga, akibat sistem hukum
liberal tidak dirancang untuk memberikan keadilan substantif, maka seorang
dengan kelebihan materil akan memperoleh “keadilan” yang lebih daripada yang
tidak.[19]
Apabila
kita terus menerus berpegang kepada doktrin liberal, maka kita akan tetap
berputar-putar dalam pusaran kesulitan untuk mendatangkan atau menciptakan
keadilan dalam masyarakat. Dalam rangka melepaskan diri dari doktrin liberal
itulah, maka gagasan orang-orang atau pihak-pihak untuk mencari dan menemukan
keadilan melalui forum alternatif di luar lembaga pengadilan modern
sesungguhnya merupakan upaya penolakan terhadap cara berpikir hukum yang
tertutup. Hal itu disebabkan para pencari keadilan masih sangat merasakan,
betapa pun tidak sekuat seperti pada abad ke-sembilan belas, filsafat liberal
dalam hukum dewasa ini masih sangat besar memberi saham terhadap kesulitan
menegakkan keadilan substansial (substantial
justice).[20]
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka Pengadilan
di sini bukan diartikan semata-mata sebagai badan untuk mengadili, melainkan
sebagai pengertian yang abstrak, yaitu “hal memberikan keadilan”. Hal memberikan
keadilan berarti yang bertalian dengan tugas badan pengadilan atau hakim dalam
memberi keadilan, yaitu memberikan kepada yang bersangkutan. Konkritnya kepada
yang mohon keadilan apa yang menjadi haknya atau apa hukumnya.[21] Eksistensi pengadilan
sebagai lembaga yang berfungsi menyelenggarakan proses peradilan dalam
menerima, memeriksa, dan mengadili sengketa masyarakat, tugas-tuganya diwakili
oleh hakim. Oleh karena itu, kepercayaan masyarakat terhadap hukum serta
institusi peradilan di negara ini ditentukan oleh kredibilitas dan
profesionalitas hakim dalam menjalankan tugasnya menyelesaikan sengketa serta
menegakkan keadilan.
Jadi,
para hakim dituntut untuk secara totalitas
melibatkan dirinya pada saat membuat putusan, bukan hanya mengandalkan
kemahirannya mengenai
perundang-undangan. Menurut Roeslan Saleh,[22]
seorang hakim diharapkan senantiasa menempatkan dirinya dalam hukum, sehingga
hukum baginya merupakan hakekat dari hidupnya. Hakim tidak boleh menganggap hukum
sebagai suatu rangkaian dari larangan dan perintah yang akan mengurangi
kemerdekaannya, melainkan sebaliknya hukum harus menjadi sesuatu yang mengisi
kemerdekaannya. Oleh karena “hukum itu bukan semata-mata peraturan atau
undang-undang, tetapi lebih daripada itu: ‘perilaku.’ Undang-undang memang
penting dalam negara hukum, akan tetapi bukan segalanya dan proses memberi
keadilan kepada masyarakat tidak begitu saja berakhir melalui kelahiran
pasal-pasal undang-undang.”
Seperti telah diutarakan di muka, bahwa dalam sistem
hukum di manapun di dunia, keadilan selalu menjadi objek perburuan melalui
lembaga pengadilannya. Namun demikian kerusakan dan kemerosotan dalam perburuan
keadilan melalui hukum modern disebabkan permainan prosedur yang menyebabkan
timbul pertanyaan “apakah pengadilan itu tempat mencari keadilan atau
kemenangan?”[23]
Keadilan memang barang yang abstrak dan karena itu
perburuan terhadap keadilan merupakan usaha yang berat dan melelahkan.
Sementara itu, pengadilan sebagai institusi pendistribusi keadilan telah
menjadi institusi modern yang dirancang secara spesifik bersamaan dengan
munculnya negara modern sekitar abad ke delapan belas. Oleh sebab itu,
pekerjaan mengadili tidak lagi hanya bersifat mengadili secara substansial seperti
pada masa lampau ketika Khadi Justice, yaitu suatu peradilan yang tidak
berorientasi kepada “fixed rules of formally rational law,” melainkan
kepada hukum substantif yang bertolak dari postulat-postulat etika, religi,
politik, dan lain-lain pertimbangan kemanfaatan. Setelah menjadi institusi
modern, pengadilan merupakan penerapan dari prosedur yang ketat.[24]
Berdasarkan optik sosiologi hukum yang lebih
memperhatikan fungsi dari badan yang menjalankan fungsi mengadili, maka dalam
rangka menemukan keadilan serta dimana keadilan diputuskan, faktor lembaga atau
badan pemutus keadilan yang diakui menjadi tidak penting. Putusan tentang
keadilan dapat dilakukan dimana saja dalam masyarakat, tidak perlu harus di
pengadilan. Oleh karenanya, menegakkan dan menemukan keadilan tidak semata-mata
harus dilakukan melalui struktur formal lembaga pengadilan. Fungsi mengadili
dapat dilakukan dan berlangsung di banyak lokasi, sehingga Marc Galanter[25]
mengungkapkan dengan sebutan “justice in many rooms.” Atas dasar
hal itu, maka memilih forum arbitrase atau mediasi untuk menyelesaikan
sengketa-sengketa bisnis merupakan kecenderungan beralihnya minat masyarakat
pencari keadilan dari menggunakan jalur litigasi pada pengadilan kepada jalur
lain yang formatnya lebih tidak terstruktur secara formal.
Namun demikian, bentuk yang disebut terakhir itu
diyakini oleh para penggunanya akan mampu melahirkan keadilan substansial.
Padahal selama beberapa dekade masyarakat di sejumlah negara, termasuk di
Indonesia memberikan kepercayaan kepada lembaga pengadilan untuk mengelola
sengketa yang sedang dihadapi, dengan harapan akan memperoleh keadilan
sebagaimana secara normatif dan eksplisit disebutkan dalam ketentuan
perundang-undangan.[26] Akan
tetapi faktanya lembaga pengadilan telah terbukti tidak mampu memenuhi harapan
masyarakat pencari keadilan. Banyak faktor memang yang menyebabkan pengadilan
dalam perjalanan sejarahnya menjadi seperti itu.
3. Relevansi
Penegakan Hukum dengan Keadilan yang Dicita-Citakan Masyarakat
Jika kita amati
potret penegakan hukum di Indonesia saat ini belumlah berjalan dengan baik,
bahkan bisa dikatakan buruk. Lemahnya penegakan hukum di Indonesia saat ini
dapat tercermin dari berbagai penyelesaian kasus besar yang belum tuntas salah
satunya praktek korupsi yang menggurita, namun ironisnya para pelakunya sangat
sedikit yang terjerat oleh hukum.[27]
Kenyataan tersebut justru berbanding terbalik dengan beberapa kasus yang
melibatkan rakyat kecil, dalam hal ini aparat penegakkan hukum cepat tanggap,
karena sebagaimana kita ketahui yang terlibat kasus korupsi merupakan kalangan
berdasi alias para pejabat dan orang-orang berduit yang memiliki kekuatan (power) untuk menginterfensi efektifitas
dari penegakan hukum itu sendiri.
Realita
penegakan hukum yang demikian sudah pasti akan menciderai hati rakyat kecil
yang akan berujung pada ketidakpercayaan masyarakat pada hukum, khususnya
aparat penegak hukum itu sendiri.[28]
Sebagaimana sama-sama kita ketahui para pencari keadilan yang note bene adalah
masyarakat kecil sering dibuat frustasi oleh para penegak hukum yang nyatanya
lebih memihak pada golongan berduit. Sehingga orang sering menggambarkan kalau
hukum Indonesia seperti jaring laba-laba yang hanya mampu menangkap hewan-hewan
kecil, namun tidak mampu menahan hewan besar tetapi hewan besar tersebutlah
yang mungkin menghancurkan seluruh jaring laba-laba.[29]
Problematika
penegakan hukum yang mengandung unsur ketidakadilan tersebut mengakibatkan
adanya isu mafia peradilan, keadilan dapat dibeli, munculnya bahasa-bahasa yang
sarkastis dengan plesetan HAKIM (Hubungi Aku Kalau Ingin Menang), KUHAP
diplesetkan sebagai Kurang Uang Hukuman Penjara, tidaklah muncul begitu saja.
Kesemuanya ini merupakan “produk sampingan” dari bekerjanya lembaga-lembaga
hukum itu sendiri. Ungkap-ungkapan ini merupakan reaksi dari rasa keadilan
masyarakat yang terkoyak karena bekerja lembaga-lembaga hukum yang tidak
profesional maupun putusan hakim/putusan pengadilan yang semata-mata hanya
berlandaskan pada aspek yuridis. Berlakunya hukum di tengah-tengah masyarakat,
mengemban tujuan untuk mewujudkan keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan dan
pemberdayaan sosial bagi masyarakatnya.
Untuk menuju
pada cita-cita pengadilan sebagai pengayoman masyarakat, maka pengadilan harus
senantiasa mengedapankan tiga tujuan hukum di atas dalam setiap putusan yang
dibuatnya. Hal ini sejalan dengan apa yang menjadi dasar berpijaknya hukum
yaitu “hukum untuk kesejahteraan masyarakat”. Dengan demikian, pada akhirnya
tidak hanya dikatakan sebagai Law and Order (Hukum dan Ketertiban)
tetapi telah berubah menjadi Law, Order dan Justice (Hukum,
Ketertiban, dan Ketentraman). Adanya dimensi keadilan dan ketentraman yang
merupakan manifestasi bekerjanya lembaga pengadilan, akan semakin mendekatkan
cita-cita pengadilan sebagai pengayom masyarakat.[30]
Penegakan hukum
yang carut-marut, kacau, dan mengesampingkan keadilan tersebut bisa saja
diminimalisir kalau seandainya hukum dikembalikan kepada fungsi aslinya, yaitu
untuk untuk menciptakan keadilan, ketertiban serta kenyaman. Selain itu sebagaimana menurut
Soerjono Soekanto,
hukum dapat berfungsi dengan baik diperlukan keserasian dan hubungan antara
empat faktor, yakni:[31]
1. Hukum
dan peraturan itu sendiri.
Kemungkinannya
adalah bahwa terjadi ketidak cocokan dalam peraturan perundang-undangan
mengenai bidang-bidang kehidupan tertentu. Kemungkinan lainnya adalah
ketidakcocokan antara peraturan perundang-undangan dengan hukum tidak tertulis
atau hukum kebiasaan. Kadangkala ketidakserasian antara hukum tertulis dengan
hukum kebiasaan, dan seterusnya.
2. Mentalitas
Petugas yang menegakkan hukum.
Penegak
hukum antara lain mencakup hakim, polisi, jaksa, pembela, petugas
pemasyarakatan, dan seterusnya. Apabila peraturan perundang-undangan sudah
baik, akan tetapi jika mental penegak hukum kurang baik, maka akan terjadi pada
sistem penegakkan hukum.
3. Fasilitas
yang diharapkan untuk mendukung pelaksanaan hukum.
Kalau
peraturan perundang-undangan sudah baik dan juga mentalitas penegaknya baik,
akan tetapi fasilitas kurang memadai, maka penegakkan hukum tidak akan berjalan
dengan semestinya.
4. Kesadaran
dan kepatuhan hukum dari para warga masyarakat.
Menurut Lawrence Meir Friedman terdapat
tiga unsur dalam sistem hukum, yakni Struktur (Structure), substansi (Substance)
dan Kultur Hukum (Legal Culture).[32]
Kendala penegakkan hukum di Indonesia disebabkan oleh keterpurukan dalam tiga unsur sistem hukum yang mengalami
pergeseran dari cita-cita dalam UUD 1945.
Selanjutnya sekilas mengenai ketiga unsur tersebut akan dijelaskan sebagai
berikut:
1. Substansi
Hukum (legal substance)
Substansi juga berarti produk yang
dihasilkan oleh orang yang berada dalam sistem hukum yang mencakup keputusan
yang mereka keluarkan, aturan baru yang mereka susun. Substansi juga mencakup
hukum yang hidup (living law), bukan
hanya aturan yang ada dalam kitab undang-undang (law books).[33]
Idealnya tatanan hukum nasional mengarah pada penciptaan sebuah tatanan hukum
nasional yang bisa menjamin penyelenggaraan negara dan relasi antara warga
negara, pemerintah dan dunia internasional secara baik. Tujuan politik hukum
yaitu menciptakan sebuah sistem hukum nasional yang rasional, transparan,
demokratis, otonom dan responsif terhadap perkembangan aspirasi dan ekspektasi
masyarakat, bukan sebuah sistem hukum yang bersifat menindas, ortodoks dan
reduksionistik.[34]
Substansi hukum berkaitan dengan proses
pembuatan suatu produk hukum yang dilakukan oleh pembuat undang-undang.
Nilai-nilai yang berpotensi menimbulkan gejala hukum dimasyarakat dirumuskan
dalam suatu peraturan perundang-undangan. Sedangkan pembuatan suatu produk
perundang-undangan dipengaruhi oleh suasana politik dalam suatu negara.
Seringkali substansi hukum yang termuat
di dalam
suatu produk perundang-undangan dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan
kelompok tertentu. Sehingga hukum yang dihasilkan tidak responsif
terhadap perkembangan masyarakat. Akibat yang lebih luas adalah hukum dijadikan
sebagai alat kekuasaan dan bukan sebagai pengontrol kekuasaan atau membatasi
kesewenangan yang sedang berkuasa.
Peraturan perundang-undangan dibuat oleh
kekuasaan yang diberikan wewenang oleh undang-undang. Menurut UUD 1945
kekuasaan membuat undang-undang diberikan kepada DPR sebagai legislatif dan Presiden sebagai Eksekutif. Dalam Pasal 5 ayat (1) UUD
1945 menyebutkan bahwa “Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang
kepada Dewan Perwakilan Rakyat”. Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa
“Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang”.[35]
Rancangan undang-undang tersebut dibahas secara bersama-sama antara DPR dan
Presiden untuk mendapatkan persetujuan secara bersama.
DPR sebagai lembaga legislatif yang salah satu tugasnya adalah membuat undang-undang.
Produk undang-undang yang dihasilkan harus sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan
masyarakat, berbangsa dan bernegara yang tidak bertentangan dengan konstitusi
negara. Untuk saat ini, hampir sebahagian besar produk perundang-undangan yang
dihasilkan lembaga DPR masih jauh dari harapan. Terdapat beberapa peraturan
perundang-undangan yang tidak relefan dan cendrung dipaksakan serta tidak responsif. Bahkan dalam UU
kesehatan yang baru dikeluarkan salah satu contoh, ayat yang mengatur tentang
tembakau tidak tercantum. Tidak diaturnya (hilangnya) ayat tentang tembakau
dalam UU Kesehatan mencerminkan bahwa kualitas dari anggota DPR patut diragukan.
Menurut Satjipto Rahardjo yang mengutib
dari Radbruch, terdapat nilai-nilai dasar dari hukum, yaitu Keadilan, Kegunaan
dan Kepastian hukum.[36]
Tidak jarang ketiga nilai dasar hukum tersebut saling bertentangan dalam
penegakkan hukum. Bila hal tersebut terjadi maka yang harus diutamakan adalah
keadilan, mengingat tujuan hukum adalah terciptanya rasa keadilan dimasyarakat.
Peraturan perundang-undangan yang tidak
responsif dan demokratis hanya akan menimbulkan opini di masyarakat yang dapat
menggangu stabilitas hukum, keamanan ekonomi dan politik. Sehingga untuk
membentuk peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan aspirasi yang
berkembang dimasyarakat harus bebas dari intervensi dan kepentingan pihak-pihak
atau kelompok tertentu.
2. Struktur
Hukum (legal
structure)
Struktur adalah kerangka atau rangkanya,
bagian yang tetap bertahan, bagian yang memberi semacam bentuk dan batasan
secara keseluruhan.[37]
Struktur hukum merupakan institusionalisasi dalam keberadaan hukum.
Struktur hukum di sini
meliputi lembaga negara penegak hukum seperti Pengadilan, Kejaksaan,
Kepolisian, Advokat[38]
dan lembaga penegak hukum yang secara khusus diatur oleh undang-undang seperti
KPK, dan lain-lain. Kewenangan
lembaga penegak hukum dijamin oleh undang-undang. Sehingga dalam melaksanakan
tugas dan tanggungjawabnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan
pengaruh-pengaruh lain.
Terdapat adagium yang menyatakan fiat justitia et pereat mundus (meskipun
dunia ini runtuh hukum harus ditegakkan). Hukum tidak dapat berjalan atau tegak
bila tidak ada aparat penegak hukum yang kredibilitas, kompeten dan independen.
Seberapa bagusnya suatu peraturan perundang-undangan bila tidak didukung dengan
aparat penegak hukum yang baik maka keadilan hanya angan-angan.
Sudah terlalu sering kita mendengar
bahkan melihat di berbagai
pemberitaan media massa, adanya oknum aparat penegak hukum yang melakukan
penyelewengan terhadap perkara-perkara tertentu demi kepentingan pribadi maupun
kelompoknya. Ketika penegak hukum memiliki kepentingan terhadap suatu perkara
maka sejak saat itulah hukum dikesampingkan. Sungguh ironis, disaat masyarakat
menghendaki terciptanya keadilan tercoreng oleh perbuatan yang dilakukan oknum aparat
penegak hukum.
Kebebasan peradilan adalah merupakan essensilia daripada suatu negara hukum,
sehingga oleh karena tegaknya prinsip-prinsip daripada suatu negara hukum
sebagian besar adalah tergantung dari ada atau tidaknya kebebasan peradilan
didalam negara tersebut.[39]
Sebagai sarana parameter penerapan demokrasi, kebebasan badan peradilan dalam
memeriksa dan memutus perkara harus dijamin oleh konstitusi.
Mahkamah Agung sebagai badan peradilan
tertinggi yang bukan saja sebagai tempat terakhir menentukan hukum dalam arti
konkret akan tetapi juga sebagai tempat melahirkan asas dan kaedah hukum baru
serta teori-teori baru mengenai hukum.[40]
Makamah Agung juga memiliki kewenangan membatalkan putusan atau penetapan
pengadilan-pengadilan dari semua lingkungan peradilan pada tingkat kasasi,
sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 30 ayat (1) UU No. 5 Tahun 2004 tentang
Perubahan Atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang Makamah Agung.
Penegak hukum yang bertugas menerapkan
hukum mencakup ruang lingkup yang sangat luas, meliputi: petugas strata atas,
menengah dan bawah. Maksudnya adalah sampai sejauhmana petugas harus memiliki
suatu pedoman salah satunya peraturan tertulis yang mencakup ruang lingkup
tugasnya. Dalam penegakkan hukum, kemungkinan penegak hukum mengahadapi hal-hal
sebagai berikut:[41]
a). Sampai
sejauhmana petugas terikat dengan peraturan yang ada,
b). Sampai
batas-batas mana petugas berkenan memberikan kebijakan,
c). Teladan
macam apakah yang sebaiknya diberikan oleh petugas kepada masyarakat,
d). Sampai
sejauhmanakah derajat sinkronisasi penugasan yang diberikan kepada para petugas
sehingga memberikan batas-batas yang tegas pada wewenangnya.
Lemahnya mentalitas aparat penegak hukum
mengakibatkan penegakkan hukum tidak berjalan sebagaimana mestinya. Banyak
faktor yang mempengaruhi lemahnya mentalitas aparat penegak hukum diantaranya
lemahnya pemahaman agama, ekonomi, proses rekruitmen yang tidak transparan dan
lain sebagainya. Sehingga dapat dipertegas bahwa faktor penegak hukum memainkan
peran penting dalam memfungsikan
hukum. Kalau peraturan sudah baik, tetapi kualitas penegak hukum rendah maka
akan ada masalah. Demikian juga, apabila peraturannya buruk sedangkan kualitas
penegak hukum baik, kemungkinan munculnya masalah masih terbuka.
3. Budaya
Hukum (legal culture)
Kultur hukum menurut Lawrence Meir
Friedman adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum-kepercayaan,
nilai, pemikiran, serta harapannya. Kultur hukum adalah suasana pemikiran
sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari,
atau disalahgunakan.[42] Hukum dipercaya sebagai
suatu lembaga penyeimbang yang kuat terhadap ancaman disintegrasi dalam hidup
bermasyarakat akibat benturan kekuatan yang sama-sama ingin berkuasa dan
sekaligus membatasi kesewenangan yang sedang berkuasa. Hukum dalam bentuknya
yang asli bersifat membatasi kekuasaan dan berusaha untuk memungkinkan
terjadinya keseimbangan dalam hidup bermasyarakat. Berbeda dengan kekuasaan
yang agresif dan ekspansionis, hukum cendrung bersifat kompromistis, damai dan
penuh dengan kesepakatan-kesepakatan dalam kehidupan sosial dan politik.[43]
Hukum bisa bekerja sesuai dengan
fungsinya jika masyarakat patuh dan tunduk terhadap hukum yang berlaku. Hal ini
bukan berarti penyelesaian sengketa dimasyarakat diluar institusi hukum tidak
dibenarkan. Konstitusi sendiri mengakui hal tersebut, yakni dalam Pasal 18B
ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa:
Negara
mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta
hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam
Undang-undang.[44]
Peristiwa penyelesaian sengketa diluar
institusi hukum oleh masyarakat dibenarkan dan dijamin oleh konstitusi
sepanjang penyelesaian tersebut sesuai dengan undang-undang yang berlaku serta
norma-norma yang ada di masyarakat.
Sengketa masyarakat adat yang telah diselesaikan melalui mekanisme hukum adat
hendaknya negara tidak mencapurinya, dalam arti tidak diproses kembali lewat
pengadilan. Bila hal tersebut terjadi akan menimbulkan sengketa antara
masyarakat adat dengan negara.
Masyarakat yang menyerahkan sengketa
atau permasalahan hukumnya kepada institusi hukum kecuali didorong oleh
kepentingan terlihat juga adanya faktor-faktor seperti ide, sikap, keyakinan,
harapan dan pendapat mengenai hukum. Orang secara sadar datang kepada hukum
(pengadilan) disebabkan oleh penilaian yang positif mengenai institusi hukum.
Dengan demikian, keputusan untuk membawa sengketa tersebut kedepan pengadilan
pada hakikatnya merupakan hasil positif dari bekerjanya berbagai faktor
tersebut.[45]
Penyelesaian sengketa melalui pengadilan
merupakan wujud kepercayaan masyarakat terhadap tegaknya hukum di Indonesia.
Kepercayaan masyarakat terhadap hukum akan bergeser manakala hukum tersebut
tidak dapat memberikan jaminan keadilan dan menimbulkan kerugian baik materi
maupun non materi. Berbelit-belitnya proses peradilan menyebabkan para pihak
yang terlibat menghendaki penyelesaian secara cepat dengan berbagai cara. Adapun cara yang ditempuh
tersebut terkadang bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku dan aparat
penegak hukum sendiri membuka peluang terhadap cara yang dilakukan para pihak.
Sehingga dampak yang lebih luas adalah budaya hukum yang terbentuk dimasyarakat
tidak selaras dengan tujuan dan cita-cita hukum. Hukum dijadikan bisnis bagi
para pihak yang terlibat beserta aparat penegak hukum yang didalamnya terdapat
tawar-menawar perkara.
Sebagai contoh kecil rusaknya budaya
hukum dimasyarakat yakni penyelesaian terhadap pelanggaran lalu lintas yang
dilakukan melalui proses damai antara aparat penegak hukum dengan masyarakat
yang melanggar. Proses damai tersebut berisi tawar-menawar harga sebuah
pelanggaran. Selain itu juga usaha masyarakat untuk menghidar bila sudah berhadapan
dengan permasalahan hukum. Hal tersebut lebih disebabkan karena masyarakat
tidak percaya terhadap proses hukum di Indonesia.
Baik substansi hukum, struktur hukum maupun
budaya hukum saling keterkaitan antara satu dengan yang lain dan tidak dapat dipisahkan.
Dalam pelaksanaannya diantara ketiganya harus tercipta hubungan yang saling
mendukung agar tercipta pola hidup
aman, tertib, tentram dan damai. Begitu juga dalam penegakan hukum ketiga unsur ini
memegang peranan yang signifikan untuk menciptakan penegakan hukum yang yang
berorientasi pada keadilan sebagaiman yang dicita-citakan oleh sebagian besar
para pencari kebenaran via pengadilan atau melalui lembaga penegakan hukum
lainnya.
Beranjak dari
fenomena-fenomena yang terjadi khususnya dalam penegakan hukum, maka dapat
diasumsikan bahwa penegakan hukum di Indonesia saat ini belum berjalan secara
efektif dan efisien. Hal ini karena beberapa unsur yang telah disebutkan di
atas belum menampakkan keselarasan dalam mewujudkan tujuan yang paling mendasar
dari penegakan hukum yaitu untuk menciptakan keadilan yang dicita-citakan
masyarakat. Kenyataan ini dapat dibuktikan dengan banyaknya kasus besar seperti
korupsi yang menjamur menggerogoti negeri ini, namun para pelakunya sedikit
sekali yang dijatuhi hukuman dan sanksi yang tegas.
Bahkan yang
lebih mencengangkan dan membuat ngilu hati masyarakat ketika kasus besar
tersebut dibandingkan dengan kasus yang menimpa rakyat kecil yang begitu cepat
diselesaikan dengan penjatuhan hukuman, terkadang hukumannya pun jauh dari rasa
keadilan. Akibatnya sudah pasti banyak menimbulkan protes dan gejolak di
tengah-tengah masyarakat. Fenomena semacam ini apabila terus berlanjut tentu
akan mengakibatkan tingkat kepercayaan masyarakat kepada hukum semakin luntur
bahkan bisa hilang. Untuk membendung kemungkinan tersebut, maka penegakan hukum
harus dilakukan dengan menjunjung tinggi rasa keadilan, bukan hanya keadilan
berdasarkan undang-undang (yuridis) semata tetapi juga dengan rasa keadilan
yang dicita-citakan masyarakat.
C. PENUTUP
Sebagai penutup dari makalah ini, penulis menyimpulkan:
1.
Antara hukum dan
keadilan merupakan dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan, hal ini
karena hanya melalui suatu tata hukum yang adil orang dapat hidup dengan damai
menuju suatu kesejahteraan jasmani maupun rohani.
2.
Untuk menegakkan
dan menemukan keadilan tidak semata-mata harus dilakukan melalui struktur
formal lembaga pengadilan. Fungsi mengadili dapat dilakukan dan berlangsung di
banyak lokasi (justice in many rooms) seperti melalui forum
arbitrase atau mediasi juga bias mencari keadilan.
3.
Proses penegakan
hukum di Indonesia belum relevan dengan keadilan yang dicita-citakan oleh
masyarakat. Hal ini karena penegakan hukum itu sendiri masih tebang-pilih. Sehingga
orang sering menggambarkan kalau hukum Indonesia seperti jaring laba-laba yang
hanya mampu menangkap hewan-hewan kecil, namun tidak mampu menahan hewan besar
tetapi hewan besar tersebutlah yang mungkin menghancurkan seluruh jaring
laba-laba. Adapun beberapa faktor yang mempengaruhi penegakan hukum tersebut
adalah:
a. Hukum
dan peraturan itu sendiri.
b. Mentalitas
Petugas yang menegakkan hukum.
c. Fasilitas
yang diharapkan untuk mendukung pelaksanaan hukum.
d. Kesadaran
dan kepatuhan hukum dari para warga masyarakat.
[1] Makalah
ditujukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Filsafat Hukum pada Magister
Ilmu Hukum di Program Pascasarjana Universitas Andalas (UNAND) Padang.
[2] Penulis
adalah Mahasiswa Magister Ilmu Hukum pada Program Pascasarjana Universitas
Andalas (UNAND) Padang.
[3] Zudan Arif Fakrulloh (Dosen Pascasarjana UI, STIH IBLAM, UNTAG Surabaya,
UNTAN Pontianak, STIE Stiekubank Semarang, Universitas Borobudur Jakarta, dan UMM Malang),
Makalah, Penegakan Hukum Sebagai Peluang
Menciptakan Keadilan, dalam
Jurisprudence,
Vol. 2, No. 1, Maret 2005,
hlm. 22-23
[4]Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan
Hukum,( Cet. Ke-10), (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2011), hlm. 5
[5] Bahkan menurut Saldi Isra,
Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO)
Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang. penegakan
hukum di negeri ini sedang terancam memasuki kondisi darurat alias zona merah.
Langkah menuju zona merah tersebut dapat dilacak dari performance penegakan
hukum yang semakin bergerak menuju titik nol. Sepanjang semester pertama tahun ini misalnya sejumlah peristiwa cukup
memberi gambaran betapa tidak banyak kemajuan yang dapat diraih dalam penegakan
hukum. Pengalaman yang terjadi dalam beberapa waktu cukup untuk membuktikan
bahwa penegakan hukum sedang menuju zona merah. (Saldi Isra dalam http://www.saldiisra.web.id/index.php?option=com_content&view=article&id=434:zona-merah-penegakan-hukum&catid=3:seputarindonesia&Itemid=2, yang diakses Tanggal 23
Desember 2011)
[6] Zudan Arif Fakrulloh, Op.Cit., hlm.
22-23
[7] Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum Sejarah, Aliran dan Pemaknaan, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press,
2006), hlm. 46-47
[9] Carl Joachim
Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis, (Bandung: Nuansa dan
Nusamedia, 2004), hlm. 24
[17] Satjipto Rahardjo,
“Membangun Keadilan Alternatif”; Kompas,
Rabu, 5 April 1995.
[18] Eman Suparman, Persepsi
tentang Keadilan dan Budaya Hukum dalam Penyelesaian Sengketa, Makalah, TT. hlm. 4
[19] Satjipto Rahardjo, “Rekonstruksi
Pemikiran Hukum di Era Reformasi”; dalam Makalah Seminar Nasional ‘Menggugat Pemikiran Hukum Positivistik di Era
Reformasi’, PDIH-Undip Angkatan V, Semarang, Sabtu, 22 Juli 2000,
hlm.8
[20] Eman Suparman, Op.Cit., hlm. 5
[22] Roeslan Saleh, Mengadili Sebagai Pergulatan Kemanusiaan, (Jakarta: Aksara Baru, 1979), hlm. 29.
[24] Menurut Weber, sebelum hadir negara modern, rasionalisasi belum masuk ke
dalam pengadilan, sehingga tidak ada perpecahan antara formal justice dengan
substantial justice. Sementara itu pengadilan modern mempunyai
arsitektur yang demikian formal rasional sebagai bagian dari karakteristik
hukum modern yang disebut tipe legal domination. Oleh karena itu,
pengadilan muncul sebagai hasil rancangan artifisial yang rasional seperti yang
kita kenal sekarang, sehingga berbicara tentang keadilan, dikenal terdapat dua
macam, yaitu (i) keadilan substansial (substantial justice) dan (ii)
keadilan formal (formal justice atau legal justice). Sedangkan
pada masa lampau, pembedaan keadilan seperti itu tidak ada, oleh karena tidak
ada peraturan yang kompleks yang mengatur bagaimana putusan pengadilan
diberikan. Pada waktu itu mengadili adalah memberikan putusan secara
substansial.” Lihat, Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum: Perkembangan, Metode, dan Pilihan Masalah, (Surakarta: Muhammadiyah University
Press, 2004), hlm. 134 -136.
[25] Marc Galanter, “Justice in Many Rooms”; dalam Maurio Cappelletti
(ed), Access to Justice and The
Welfare State, (Italy:
European University Institute, 1981), hlm. 147-182.
[27] Lihat,
Mahmud Kusuma, Menyelami Semangat Hukum
Progresif Terapi Paradigmatik Bagi Lemahnya Hukum Indonesia, (Yogyakarta:
antonyLip, 2009), hlm. 66
[28] Negara Indonesia adalah negara hukum, begitu yang dinyatakan dalam
konstitusi kita UUD Negara RI 1945
pasal 1 ayat (3) yang dirumuskan dalam amandemennya yang ketiga, Agustus 2001 silam.
Sehingga seharusnya seluruh sendi kehidupan dalam bermasyarakat dan bernegara
kita harus berdasarkan pada norma-norma hukum. Artinya hukum harus dijadikan
panglima dalam penyelesaian masalah-masalah yang berkenaan dengan individu,
masyarakat dan Negara. Tetapi sampai saat ini dalam kenyataannya masyarakat
seperti tidak percaya kepada hukum sebagai satu-satunya solusi atas
permasalahan yang terjadi di sekitarnya. Mungkin hal ini disebabkan karena
sudah sangat kronisnya krisis kepercayaan masyarakat terhadap hukum, istilah
ini tidak lazim dipakai dalam bahasa Indonesia dimana penyumbang terbesar
krisis tersebut adalah dari para penegak hukumnya sendiri.(Abdul Ghofur Anshori,
Op.Cit., hlm. 155-156)
[31] Soerjono Soekanto, Teori Sosiologi tentang Pribadi dalam Masyarakat, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998), hlm. 83-84.
[32] Achmad
Ali, Keterpurukan Hukum di Indonesia Penyebab
dan Solusinya, Cetakan Kedua, (Ciawi-Bogor: Ghalia Indonesia, 2005), hlm.
1.
[34] Imam
Syaukani, A. Ahsin Thohari, Dasar-dasar
Politik Hukum, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2008), hlm. 72.
[35] Amandemen pertama UUD
1945.
[36] Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2000), Cetakan kelima, hlm. 19.
[39] Abdurrahman,
Aneka Masalah dalam Praktek Penegakan
Hukum di Indonesia, (Bandung: Alumni, 1980), hlm. 1.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdurrahman, 1980 Aneka
Masalah dalam Praktek Penegakan Hukum di Indonesia, Alumni: Bandung
Ali, Achmad, 2005, Keterpurukan
Hukum di Indonesia Penyebab dan Solusinya Cetakan Kedua, Ghalia Indonesia:
Ciawi-Bogor
Ali, Zainuddin , 2006, Filsafat Hukum, Sinar Grafika: Jakarta
Anshori,
Abdul Ghofur, 2006, Filsafat Hokum Sejarah, Aliran dan Pemaknaan,
Gajah Mada University Press: Yogyakarta
Cappelletti,
Maurio (ed), 1981, Access to Justice
and The Welfare State, European
University Institute: Italy
Fakrulloh, Zudan Arif, TT., Makalah, Penegakan
Hukum Sebagai Peluang Menciptakan Keadilan, dalam Jurisprudence, Vol. 2,
No. 1
Friedrich, Carl
Joachim, 2004, Filsafat Hukum Perspektif Historis, Nuansa dan Nusamedia:
Bandung
Huijbers,
Theo, 1995, Filsafat Hukutn dalatn Lintasan Sejarah, Kanisius: Yogyakarta
Kusuma, Mahmud, 2009, Menyelami Semangat Hukum Progresif Terapi Paradigmatik Bagi Lemahnya
Hukum Indonesia, antonyLip: Yogyakarta
Manan, Bagir, 2004, Teori dan Politik Konstitusi, FH. UI Press: Yogyakarta
Marzuki, Peter Mahmud, 2009, Pengantar Ilmu Hukum, Prenada Media Group: Jakarta
Rahardjo,
Satjipto, “Membangun Keadilan Alternatif”; Kompas, Rabu, 5 April 1995.
__________, 2000, Ilmu Hukum Cetakan
kelima, PT Citra Aditya Bakti: Bandung
__________, “Rekonstruksi Pemikiran Hukum di Era Reformasi”; dalam Makalah
Seminar Nasional ‘Menggugat
Pemikiran Hukum Positivistik di Era Reformasi’, PDIH-Undip Angkatan
V, Semarang, Sabtu, 22 Juli 2000
__________,Indonesia
Butuh Keadilan yang Progresif;” Kompas.,
Sabtu, 12 Oktober 2002
__________,2004,
Sosiologi
Hukum: Perkembangan, Metode, dan
Pilihan Masalah, Muhammadiyah University Press: Surakarta
Saleh,
Roeslan, 1979, Mengadili Sebagai Pergulatan Kemanusiaan, Aksara Baru: Jakarta
Soekanto,
Soerjono, 1998, Teori Sosiologi tentang Pribadi dalam
Masyarakat, Ghalia
Indonesia: Jakarta
__________,2011, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan
Hukum,( Cet. Ke-10), PT Raja Grafindo Persada: Jakarta
Suparman,
Eman, TT., Makalah, Persepsi tentang Keadilan dan Budaya Hukum dalam Penyelesaian Sengketa
Syaukani, Imam, dkk, 2008, Dasar-dasar Politik Hukum, PT Rajagrafindo Persada: Jakarta
UU No.14/1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman.
Undang-Undang
Dasar 1945.
Saldi Isra dalam http://www.saldiisra.web.id/index.php?option=com_content&view=article&id=434:zona-merah-penegakan-hukum&catid=3:seputarindonesia&Itemid=2,
yang diakses Tanggal 23
Desember 2011