Kajian

 A.  PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Hukum Islam dan politik adalah dua sisi yang tidak bisa dipisahkan dalam suatu masyarakat Islam. Hukum Islam tanpa dukungan politik sulit digali dan diterapkan. Politik yang mengabaikan hukum Islam akan mengakibatkan kekacauan dalam masyarakat. Semakin baik hubungan Islam dan politik semakin besar peluang hukum Islam diaktualisasikan, dan semakin renggang hubungan Islam dan politik, semakin kecil peluang hukum Islam diterapkan.[1]

Berlakunya hukum Islam di Indonesia telah mengalami pasang surut seiring dengan politik hukum yang diterapkan oleh kekuasaan negara. Bahkan di balik semua itu, berakar pada kekuatan sosial budaya yang berinteraksi dalam proses pengambilan keputusan politik. Namun demikian, hukum Islam telah mengalami perkembangan secara berkesinambungan, baik melalui jalur infrastruktur politik maupun suprastruktur politik dengan dukungan kekuatan sosial budaya.

Cara pandang dan interpretasi yang berbeda dalam keanekaragaman pemahaman orang Islam terhadap hakikat hukum Islam telah berimplikasi dalam sudut aplikasinya.[2] M. Atho Mudzhar misalnya menjelaskan cara pandang yang berbeda dalam bidang pemikiran hukum Islam menurutnya dibagi menjadi empat jenis, yakni kitab-kitab fiqh, keputusan-keputusan Pengadilan agama, peraturan Perundang-undangan di negeri-negeri muslim dan fatwa-fatwa ulama.[3]

Keempat faktor tersebut diyakini memberi pengaruh cukup besar dalam proses transformasi hukum Islam di Indonesia. Terlebih lagi hukum Islam sesungguhnya telah berlaku sejak kedatangan pertama Islam di Indonesia, di mana stigma hukum yang berlaku dikategorikan menjadi hukum adat, hukum Islam dan hukum Barat. Sedangkan hukum Islam dilihat dari dua segi. Pertama, hukum Islam yang berlaku secara yuridis formal, artinya telah dikodifikasikan dalam struktur hukum nasional. Kedua, hukum Islam yang berlaku secara normatif yakni hukum Islam yang diyakini memiliki sanksi atau padanan hukum bagi masyarakat muslim untuk melaksanakannya.




Oleh: Fauzi Iswari, SHI [2]

Abstrak

Penegakan hukum yang bertujuan untuk menciptakan tatanan kehidupan masyarakat yang kondusif dan dinamis tidak dapat dipisahkan dari kinerja aparat penegak hukum. Aparat penegak hukum merupakan motor penggerak teraktualisasinya hukum di tengah masyarakat. Namun untuk mengaktualisasikan hukum yang sinerji dengan yang diharapkan masyarakat tidaklah semudah membalikkan telapak tengan. Aparat penegak hukum sering mengalami problematika, baik yang sifatnya internal (faktor aparat itu sendiri), maupun eksternal (faktor masyarakat) sehingga berujung kepada ketidakefektifan penegakan hukum.

A.      PENDAHULUAN

1.      Latar Belakang Masalah

Semenjak dilahirkan ke dunia, manusia sudah mempunyai hasrat untuk hidup secara teratur. Hasrat untuk hidup secara taratur tersebut dipunyainya sejak lahir dan selalu berkembang dalam pergaulan hidupnya. Namun, apa yang dianggap teratur oleh seseorang, belum tentu dianggap teratur juga oleh pihak-pihak lainnya. Oleh karena itu, maka manusia sebagai makhluk yang senantiasa hidup bersama dengan sesamanya, memerlukan seperangkat patokan agar tidak terjadi pertentangan kepentingan sebagai akibat dari pendapat yang berbeda-beda mengenai keteraturan tersebut. Patokan-patokan tersebut, tidak lain merupakan pedoman untuk berperilaku secara pantas.[3] Patokan untuk berperilaku secara pantas tersebut kemudian dikenal dengan sebutan norma atau kaidah.[4]

Masyarakat modern yang menjadikan hukum sebagai mediator untuk memediasi kepentingannya ketika terjadi perbenturan antara kepentingan yang satu dengan yang lainnya, secara sederhana dapat dipahami bahwa hukum merupakan sebagai solusi atas masalah yang muncul dalam masyarakat. Mengenai hal ini, mungkin senada dengan pendapat Roscou Pound yang mengemukakan bahwa tujuan hukum adalah untuk melindungi kepentingan manusia (law as tool of social engineering).[5] Selanjutnya jika kita meminjam istilah Aristoteles, manusia sebagai makhluk sosial (zoon politicon) dalam kehidupannya, ia sering terlibat kepentingan yang satu dengan yang lainnya,[6] sehingga memerlukan norma atau kaidah untuk mengatur kepentingannya, salah satu norma untuk mengatur kepentingan tersebut adalah norma hukum.[7]

Norma hukum berbeda dengan beberapa norma sosial lainnya yang berlaku dalam masyarakat, norma kesopanan misalnya, tidak memiliki sanksi tegas ketika dilanggar, hal yang sama juga terjadi pada norma kesusilaan dan norma agama. Berbeda dengan ketiga norma di atas, norma hukum mempunyai sanksi yang sifatnya imperative yaitu berupa paksaan fisik, dan penegakannya dilaksanakan oleh institusi yang telah ditunjuk untuk menjalankannya oleh Negara. Penegakan hukum dilakukan agar terlindunginya kepentingan rakyat pada setiap Negara, karena dalam kesehariannya masyarakat tidak akan pernah absen dengan konflik kepentingan yang selalu berujung kepada lahirnya perselisihan, maka hukum sebagai panglima menjadi solusi yang diharapkan guna memenuhi rasa keadilan masyarakat.[8]
 


Menelaah dan memahami pengertian keadilan memang tidak begitu sulit karena terdapat beberapa perumusan sederhana yang dapat menjawab tentang pengertian keadilan. Namun untuk memahami tentang makna keadilan tidaklah semudah membaca teks pengertian tentang keadilan yang diberikan oleh para pakar, karena ketika berbicara tentang makna berarti sudah bergerak dalam tataran filosofis yang perlu perenungan secara mendalam sampai pada hakikat yang paling dalam.[1]

Berikut ini beberapa pengertian keadilan menurut para filsof dan para ahli hukum:

a. Plato, menurutnya keadilan hanya dapat ada di dalam hukum dan perundang-undangan yang dibuat oleh para ahli yang khusus memikirkan hal itu.[2] Untuk istilah keadilan ini Plato menggunakan kata yunani”Dikaiosune” yang berarti lebih luas, yaitu mencakup moralitas individual dan sosial.[3] Penjelasan tentang tema keadilan diberi ilustrasi dengan pengalaman saudagar kaya bernama Cephalus. Saudagar ini menekankan bahwa keuntungan besar akan didapat jika kita melakukan tindakan tidak berbohong dan curang. Adil menyangkut relasi manusia dengan yang lain.[4]

b. Aristoteles, adalah seorang filosof pertama kali yang merumuskan arti keadilan. Ia mengatakan bahwa keadilan adalah memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya, fiat jutitia bereat mundus.[5] Selanjutnya dia membagi keadilan dibagi menjadi dua bentuk yaitu:[6] Pertama, keadilan distributif, adalah keadilan yang ditentukan oleh pembuat undang-undang, distribusinya memuat jasa, hak, dan kebaikan bagi anggota-anggota masyarakat menurut prinsip kesamaan proporsional. Kedua, keadilan korektif, yaitu keadilan yang menjamin, mengawasi dan memelihara distribusi ini melawan serangan-serangan ilegal. Fungsi korektif keadilan pada prinsipnya diatur oleh hakim dan menstabilkan kembali status quo dengan cara mengembalikan milik korban yang bersangkutan atau dengan cara mengganti rugi atas miliknya yang hilang atau kata lainnya keadilan distributif adalah keadilan berdasarkan besarnya jasa yang diberikan, sedangkan keadilan korektif adalah keadilan berdasarkan persamaan hak tanpa melihat besarnya jasa yang diberikan.
 





0 komentar:

Posting Komentar